SMKN 1 Muara Uya kembali menunjukkan komitmennya dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman, inklusif, dan bebas kekerasan melalui gelaran program triwulanan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dilaksanakan pada Kamis (22/5) di halaman belakang sekolah.
Kegiatan yang mengusung tema “Menciptakan Budaya Sekolah Aman dan Kebhinekaan: Gerakan Mencegah dan Menghentikan Perundungan dan Kekerasan di Lingkungan Sekolah” ini menghadirkan beragam bentuk ekspresi siswa, mulai dari lomba poster hingga penampilan seni yang sarat pesan moral.
Dalam sambutan pembukaan, Kepala SMKN 1 Muara Uya menegaskan pentingnya menjadikan sekolah sebagai zona bebas kekerasan. “Zero Bullying bukan hanya slogan, ini harus menjadi kesepakatan bersama dalam membentuk karakter siswa yang berempati dan saling menghargai,” ujarnya.
Ketua TPPK SMKN 1 Muara Uya, Evertyn, dalam wawancara menyampaikan bahwa kegiatan ini memiliki tiga tujuan utama: sebagai media edukasi dan penyadaran terhadap isu bullying dan kekerasan, sebagai panggung kreativitas dan bakat siswa, serta sebagai sarana menumbuhkan kepedulian dan empati antarsesama.
Agenda utama kegiatan adalah lomba membuat poster bertema anti-bullying yang diikuti oleh 14 kelompok dari kelas X dan XI. Masing-masing kelompok secara percaya diri mempresentasikan karya mereka yang menggambarkan penolakan terhadap segala bentuk perundungan dan ajakan untuk menciptakan suasana sekolah yang saling mendukung.
Suasana kegiatan juga dihangatkan oleh tampilan hiburan dari kelompok musik sekolah “Oktafive”, band SMKN 1 Muara Uya, serta sebuah monolog berbahasa Banjar yang disampaikan oleh siswi bernama Mahmuda.
Monolog Mahmuda menjadi puncak emosi acara, saat ia membawakan kisah seorang anak yatim piatu yang tumbuh dalam kesepian, menyampaikan pesan menyentuh tentang pentingnya ruang bagi setiap siswa untuk didengar.
“Memberi ruang untuk siswa yang butuh tempat untuk berkeluh kesah, karena tiap orang punya cerita, tiap orang punya luka, tiap orang punya harga diri. Kita manusia yang sama-sama makan nasi, yang beda hanya lauknya saja. Karenanya, mari kita saling menghormati dan terus menyalakan api empati,” tutup Mahmuda dengan kalimat sarkas yang menggugah kesadaran kolektif seluruh audiens.
Alfisya, Guru yang berjiwa seni ini, yang sepanjang kegiatan nampak selalu berkaca-kaca saat dimintai tanggapannya mengatakan "Bakat yang selama ini tak nampak, ternyata siswa kita punya banyak potensi, ini dosa kolektif yang harus kita tanggung karena selama ini kita memunggunginya"
Kegiatan ini mendapat sambutan hangat dari siswa, guru, dan tenaga kependidikan, serta menjadi bukti bahwa gerakan anti perundungan dapat disuarakan dengan cara-cara yang kreatif, humanis, dan menyentuh hati.(Chy / Ly / Ptr)
0 Comments:
Post a Comment